Senin, 26 September 2016


Jangan Kau Hapus Bekas Langkahmu

            Hujan sore ini menyisakan mendung. Udara dingin dan angin yang berhembus masih terasa membelai kulitku. Goresan-goresan penaku yang sedang melukiskan cinta disuatu senja yang mulai temaram itu, semakin indah.
            Mataku tertuju pada seorang gadis yang tengah berjalan sendiri di tengah cuaca mendung. Langkahnya begitu cepat. Namun, perlahan melambat dan berhenti di halte bus depan rumahku.
            Tiga puluh menit sudah aku melihatnya duduk di sana, diam, termangu, tanpa melakukan apapun.
            “Hai, sedang menunggu siapa? Oh, iya, siapa namamu?”
            Ia hanya diam dan tersenyum memandangiku. Berkali-kali aku bertanya tentang namanya. Tetapi, ia tak pernah menjawabnya. Ah, aku bosan, sedikit geram, dan akhirnya aku pergi meninggalkannya sendiri di halte bus bersama mendung yang masih menyelimuti langit.
            Di hari-hari berikutnya, aku kembali melihatnya di halte bus ini. Yang membuatku selalu bertanya-tanya tentang ‘siapa dia sebenarnya’. Hal yang sama yang aku lakukan seperti hari-hari kemarin. Ya, bertanya tentang ‘siapa dirinya’ dan selalu ku tutup pertanyaan-pertanyaanku yang selalu mendapat jawaban diam dan senyum simpul itu dengan ‘mengapa kamu tidak pernah menjawab pertanyaanku?’.  Dan lagi-lagi tetap diam.  
            Hingga pada suatu waku, saat aku akan berangkat kuliah, aku menemukan selembar kertas di dapan pintu rumahku.
            “A-N-I-T-A”
            Hatiku bertanya, ‘siapa itu Anita? Dan siapa yang mengirimkan ini?’. Tenyata pada halaman sebaliknya, terdapat tulisan singkat yang membuatku cukup paham dengan semua ini.
            “Hai, apakah kamu adalah seorang laki-laki yang sering menyapa dan bertanya tentang namaku di halte bus setiap sore menjelang? Namaku, Anita. Terima kasih, telah menyapaku”.
            Aku menyebut namanya berkali-kali, hingga aku benar-benar mengingatnya. Aku membawa kertas itu untuk turut serta pergi bersamakau ke universitas pagi ini. Aku masih mengingatnya, hingga nama itu telah memecahkan konsentrasiku. Sepulang kuliah, aku menyempatkan diri untuk datang ke rumah Indra, sahabatku untuk menceritakan tentang ini semua.
            “Ndra, aku bingung”, ucapku mengawali pembicaraannya.
            “kenapa kamu, Ris?”
            “ada yang ngirim kertas ini. Nggak tahu semalam, nggak tahu tadi pagi. Yang jelas ini dari orang yag biasa aku sapa di halte setiap sore. Tapi, dia ini orangnya kalau aku sapa, dia nggak pernah jawab. Cuma senyum-senyum aja”.
            “wah, gawat tuh, Ris”
            “gawat kenapa, Ndra?”
            “ya pokoknya gawat. Dia biasanya di halte jam berapa?”
            “jam 15 kalau nggak jam 16 lah. Emangnya kenapa?”
            “bentar lagi. Ya udah, ayo ke halte, sekarang. Ayo, cepetan, nggak pakai lama”.
            Aku menstater motorku dan pergi bersama Indra ke halte. Dan tepat sekali, saat aku hampir sampai di halte, dari kejauhan ku lihat gadis itu juga tengah berjalan menuju halte. Aku memperlambat laju motorku. Dan menunggunya agar dia lebih dulu sampai di halte. Aku dan Indra menghampirinya, saat ia sudah duduk di kursi halte.
            “Hai, kamu Anita?”, sapaku.
            Ia mengangguk daan tersenyum padaku. Baiklah. Aku mengulurkan tangan saat ia menyodoriku selembar kertas.
            “Aku ingin menjadi temanmu. Namamu siapa?”
            Aku menjawabnya tanpa tulisan.
            “aku, Harris. Dan ini temanku, Indra”.
            Ia tersenyum. Kami berjabat tangan. Mulai hari itu, aku berteman dengannya. Bahkan bersahabat dengan Anita.
            Hari demi hari, ku lewatkan bersamanya. Hingga pada suatu ketika aku mengajaknya ke  pesta kulang tahun temanku.
Malam itu, aku mengajaknya ke pesta ulang tahun temanku untuk yang pertama kalinya. Penampilannya yang sederhana dengan cardigan warna ungu, polesan bedak di wajah, lipstick merah muda di bibirnya, dan high hill putih kesayangannya, membuatnya terlihat semakin cantik.
            Saat aku berjalan bersamanya di ulang tahun temanku itu, aku bertemu dengan Indra dan kekasihnya, Kayla. Mereka menyapa kami, dan memuji kami berdua.
“Anita, kamu cantik sekali malam ini. Harris juga keren. Eh, iya, acaranya udah mau dimulai. Masuk yuk!”
Aku menjawabnya, “yuk!”
Anita hanya diam malam itu. Tak satupun kata terucap dari mulutnya. Sebenarnya, bukan hanya malam itu saja. Dihari-hari sebelumnya pun seperti itu. Ia tak pernah berbicara kepadaku, teman-temanku, dan yang lainnya. Ia selalu diam. Bahkan saat aku atau teman-temanku menyapanya, ia selalu diam dan hanya tersenyum. Dan malam itu, tampak beberapa teman-temanku yang kasak kusuk membicarakan kami, terutama Anita. Itulah yang membuatku sangat malu dan ingin sekali mengetahui sebab ‘mengapa Anita tak pernah berbicara kepada siapapun’.
            Saat pulang, karena rasa maluku, aku begitu siap untuk marah pada Anita.
            “Nit, aku sangat malu mengajakmu ke pesta ulang tahun temanku malam ini”.
            Ia diam dan menatapku sedih dan mata yang berkaca-kaca. Lalu meraih blocknote kecil dan menuliskan sesuatu yang bisa ku baca dari jarak sedikit jauh.
            “kenapa”, tulisnya.
            “Nit, kamu ini kenapa? Bisu? Nggak bisa ngomong? Sopan dikit dong, Nit. Diajak ngomong nggak pernah jawab. Cuma senyum. Apa-apa ditulis. Ya, kalau yang ngajak ngomong kamu itu bisa baca. Ah, pokoknya aku malu Nit, punya temen kayak kamu”, hardikku padanya.
            Ia kembali menulis, “maaf, Ris”.
            “sudahlah, Nit. Aku tidak mau berteman denganmu lagi. Aku malu, Nit. Pergi sana, pulang sendiri! Kembalilah jadi temanku saat kamu sudah mau berbicara padaku dan pada orang lain. Dasar, gadis tidak tahu sopan santun!”, hardikku lagi.
            Ia menganggukkan kepala dan pergi dengan air mata yang mengalir dari kudua matanya. Mobilku melaju cepat di jalan tengah kota ini tanpa menghiraukan Anita lagi.
            Hari yang ku benci itu berlalu. Hingga keesokan harinya, aku bertemu dengan Indra di taman depan universitas. Indra menyapaku.
            “Ris, ada yang mau aku bicarain sama kamu”.
            Aku berjalan mendekati Indra.
            “apa, Ndra?”, jawabku.
            “kamu ada apa sama Anita?”, tanyanya dengan mata yang menatapku tajam.
            Baiklah. Indra sepertinya sudah tahu kalau waktu acara ulang tahun semalam, aku memarahi Anita dan membiarkannya pulang sendirian.
            “Jadi begini, Ndra. Aku bingung kenapa Anita nggak pernah bicara dengan siapapun, menjawab pertanyaan orang lain. Ia selalu diam dan hanya tersenyum. Aku malu, Ndra. Jujur aku jatuh cinta sama dia. Tapi, aku kurang suka sama sikapnya itu, Ndra. Kayak orang yang nggak pernah diajarin sopan santun. Ya udah, jadinya aku marah sama dia, aku bilang ke dia kalau aku malu punya teman kayak dia, dan aku nyuruh dia pergi. Dan aku bilang, aku mau jadi temannya lagi kalau dia sudah mau bicara denganku dan orang lain”.
            Mata Indra menatapku semakin tajam. Sepertinya Indra marah mendengar penjelasanku tadi. Ia mendekatiku dan menarik kerah bagian depan bajuku.
            “heh, Ris! Kamu ini pura-pura tidak tahu atau benar-benar tidak tahu? Anita adalah seorang gadis bisu yang hidup sendiri di kota ini. Orang tuanya telah bercerai dan tinggal di luar negeri. Semalam, Anita menemuiku dan Kayla. Ia menceritakan semuanya pada kami. Dan kamu tahu tidak, ucapanmu sangat menyakiti dia! Kamu boleh berbicara tentang sopan santun kepada siapapun. Tetapi, tidak kepada Anita! Dasar childish!”, hardik Indra padaku.
            Indra melemparkan segulung kertas dengan pita biru tua sebagai penghiasnya sebelum ia pergi meninggalkanku. Aku membuka gulungan kertas itu. Dan aku hafal benar, ini tulisan tangan Anita.
            “Ris, maaf telah membuatmu malu di pesta malam itu. Aku tahu sopan santun, tidak seperti yang kamu katakan. Aku memang tak pernah berbicara, bahkan tidak bisa berbicara. Aku bisu, Ris. Maaf, jika kamu malu memiliki teman sepertiku. Aku akan pergi, Ris. Sama seperti apa yang kamu katakan bersama marahmu malam itu. Aku akan menyusul mamaku ke Malaysia, Ris. Selamat tinggal. Terima kasih untuk semua kebahagiaan persahabatan kita”.
            Aku mengejar Indra. Namun, baru beberapa langkah saja, aku sudah tidak melihatnya. Semua ini salahku. Hanya karena gengsiku yang tinggi, aku harus kehilangan semuanya. Mulai dari Indra, sahabat-sahabatku, dan Anita.
            Kawan, maafkan aku. Anita, maafkan aku yang tidak sesegera mungkin menyadarinya.

Selasa, 14 Juni 2016

nyataku adalah maya


NYATAKU ADALAH MAYA
Written by: Lie

Cukuplah hati dan mata ini, juga Tuhan yang tahu, kepada siapa doa dan cintaku ku alamatkan..”
                Angin berhembus tenang dalam renungan sepi malam ini. Berteman bulan yang tampak pucat dan bersedih di atas sana menatap seorang gadis pinggiran kota yang terdiam, merebahkan tubuhnya di atas hamparan rumput dengan tangan menggenggam segulung kertas.
                Gadis itu Liana. Dan yang berdiri jauh di sana, jauh darinya, adalah Yuan, kekasihnya. Entah apa yang membuat hati gadis itu terasa begitu tersayat setiap kali ia merindukan kekasihnya. Ia memiringkan tubuhnya, dan air matanya menitik. Gulungan kertas yang ternyata adalah surat dari Yuan, surat yang pertama kali diberikan padanya pada beberapa minggu setelah cinta itu mulai mereka rajut dengan rapi hingga saat ini, itu diremasnya kuat. Ia bangkit, berjalan, berlari, entah untuk apa.
                suratmu, sebagai pelepas rindu hatiku..”
                Ia pergi, meninggalkan hamparan rumput yang menjadi saksi setiap kali ia merindukan kekasihnya itu. Berpindah, ke ruang kedamaian yang juga menjadi saksi seberapa dalam cinta mereka. Mata sayunya menatap ponselnya, berharap Yuan mengirim pesan untuknya. Lima menit.. sepuluh menit.. tiga puluh menit.. dan satu jam sudah ia menunggu. Diambilnya ponsel itu, dan menuliskan beberapa kata. Beberapa kali kata-kata yang ia pikirkan untuk kekasihnya itu ia tulis. Namun, beberapa kali juga kata-kata yang telah dituliskan itu dihapusnya.
                “Yuan, kapan kamu pulang?”
                “Aku kangen kamu, sayang..kamu udah lupa sama aku ya?”
                “Sayang, baik-baik disana ya..”
                Dan kalimat-kalimat itu, ia kirimkan. Hingga waktu menunjukkan pukul 8 malam, Yuan membalas pesannya.
                “Sayang, maaf, aku bukannya lupa sama kamu saa.. aku nggak lupa.. Maaf kalau aku kurang memperhatikanmu..”
                Sayang, gadis yang sejak tadi menunggu pesannya, sudah terpejam. Detik berlalu dan hari berganti. Ketika gadis itu bangun dipagi hari, ia membuka pesan dari Yuan. Ia tersenyum untuk pertama kalinya dihari ini.
                “Iya, sayang.. “, pesan itu ia kirim, membalas pesan dari Yuan.
                Bahagianya pagi itu menyambut bahagia-bahagia lain miliknya hari itu. Ia begitu bersemangat mempertahankan cintanya yang ‘ berbeda dari yang lain’. Liana dan Yuan tidak pernah berhenti. Selalu berjalan. Dan  perjalanan cinta selama 1 tahun  3 bulan itu, bagi mereka bukan perjalanan yang sebentar, walau pada kenyataannya terasa sangat sebentar. Mereka hanya cukup tahu itu. Tidak perlu menerapkan konsep yang lain.
                Ponselnya kembali berdering. Ya, ada pesan baru lagi, masuk, dari Yuan. Dan kali ini bunyinya lebih indah.
                “Sayang, semangat untuk hari ini ya.. tetap jaga senyumnya.. aku sayang kamu. I love you, sayang..”
                Satu lagi kebahagiaan ia dapatkan. Senyumnya terkembang, mekar, dan indah di wajahnya.
                “Iya, sayang.. terima kasih, kamu juga ya sayang.. semangat, jangan lupa sarapan.. aku juga sayang kamu, I love you too, sayang..”
                Dan lagi, pesan itu ia kirimkan pada Yuan bersama senyuman yang ia harapkan juga akan terkembang di wajah kekasihnya.
                Sepanjang jalan menuju sekolah, terlebih saat ia sampai di jalan depan sekolahnya, ia teringat tentang Yuan. Tentang pertama kali mereka berjalan bersama, saat itu, satu tahun yang lalu, mereka masih satu sekolah. Ya, mereka berbeda satu tingkatan kelas. Pagi itu, dan pagi-pagi lainnya, Liana selalu tersenyum menghadapi harinya. Begitu juga harinya bersama Yuan. Walau ia tak tahu apa yang sedang dilakukan Yuan jauh di sana. Ia hanya tahu, bahwa hatinya telah mempercayai Yuan hampir 98%. Ia tidak perlu peduli akan kehancuran hatinya jika mencintai terlalu dalam, karena ia pun tak pernah membayangkan jika Yuan akan meninggalkannya sendirian. Yuan tak akan lakukan itu.  
                “Eh, Li, kayaknya lagi seneng banget nih? Ada apa sih? Yuan lagi?”, sapa Siska, sahabatnya, memecahkan lamunan Liana dan ingatan masa-masa indah perjalanan cinta ‘Liyuan’ saat sampai di gerbang sekolah.
                “Ah, apaan sih, nggak ada apa-apa kok, Sis. Iyalah. Siapa lagi kalau bukan dia.. “, ledeknya seraya pergi meninggalkan Siska di gerbang sekolah dan menyentil bahunya.
                “Kebiasaan tuh.. senengnya kelewat batas..”, Siska menyusul Liana.
                Seperti mimpi, hari itu, Yuan datang. Ke bekas sekolahnya dulu. Semua teman-temannya begitu berisik memanggil-manggil Liana, mereka mengetahui kedatangan Yuan yang entah untuk apa.
                “kok kesini?”, jelas saja Liana bingung. Karena setahunya, hari itu Yuan banyak acara di sekolahnya dan baru akan datang ke bekas sekolahnya ini nanti sore. Wajah aneh Liana kembali muncul. Pipinya memerah, terlebih saat teman-temannya meledeknya.
                “Cie... Li.. dicariin tuh.. temuin sana. Mumpung kesini lohh..” , mereka meledek dan menertawakannya.
                Gadis itu berjalan cepat mendekati ruangan yang dituju Yuan. Ia ingin segeraa menemui kekasihnya. Tetapi, ketika ia sudah dekat sekali dengan ruangan itu, ia mengurungkan niatnya. Nyalinya menciut. Seperti akan bertemu dengan artis kelas dunia, tetapi hanya menjadi penggemar rahasia. Uh, malu-malu kucing.
                Ia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu laboratorium bahasa, dan menempelkan kepalanya di pintu itu sedangkan tangannya bergelayut di lengan pintu. Ia hanya tersenyum, mengingat saat dulu, mereka pernah mengabadikan kenangan di dekat ruang itu.
                Yuan mungkin tidak melihatnya, Liana berbalik, meninggalkan pintu itu. Ia ingin segera pulang, dan mengirim pesan unntuk Yuan. Hanya itu harapannya, hari ini.
                Beberapa saat setelah detik berganti, Liana meraih ponselnya, dan mengirim pesan bahagia untuk kekasihnya.
                “Sayang, tadi kamu ke bekas sekolahan kan?? Ya kan?? Ihihih.. sayang, aku seneng banget ketemu kamu hari ini, kamu kurusan sih sa? Sayang, semoga kita akan bertemu pada waktu-waktu yang telah Tuhan siapkan ya sayang.. I love you, saa..”
                Liana memutar tubuhnya di depan kaca. Sisi kanan, sisi kiri, depan, dan mulai senyum-senyum di depan kaca kamarnya. Untung saja tidak ada yang melihatnya, karena mungkin jika ada yang melihat, orang itu akan berfikir, “dia rupanya sudah gila”. Beberapa menit setelah pesan yang Liana kirimkan terkirim, masuk satu pesan baru.
                “ehehe, iya sayang, ciee.. yang ketemu pacar nggak nyapa.. yee..”
                “ihihi, malu, say..”
                Ponselnya kembali diam. Liana bergerak keluar kamar, dan pergi bersama angin yang entah akan menuntunnya kemana. Hingga malam tiba, bahagianya gadis itu masih tampak. Ia begitu senang membayangkan wajah kekasihnya saat sedang tersenyum, tertawa, dan ia juga senang membayangkan kekasihnya berdiri tepat di hadapannya dan mengajaknya berlari mengitari taman kecil milik cinta mereka, setiap klai, sebelum sepasang matanya terpejam.
                “Tuhan, bahagiakan dia .. bahagiakan cinta kami.. “
                Esok tiba. Sinar matahari mulai masuk ke kamar Liana melalui celah-celah jendela kamarnya. Udara dingin masih terasa menusuk kulit. Ia masih berusaha untuk tetap memejamkan matanya karena ini hari libur. Namun sepertinya, jika ia terus memaksa, matahari akan marah. Baiklah, ia menyerah.  Ia melompat turun dari tempat tidur dan menuju ke white board yang ada di  ruang kedamaiannya.
                “Bahagia kita sederhana.. sesederhana dan sepolos saat kita menulis ‘Tuhan, aku senang..’, dan dalam mencintai, kita hanya perlu sesederhana dan sepolos saat kita menulis dan ucapkan, ‘aku sayang dia’..”
                Ia mengecek ponselnya. Ada satu pesan baru sejak tadi pukul lima. Pesan yang indah, khusus untuk hati seorang Liana, dari seseorang yang berhati indah bernama Yuan.
                “Sayang, selamat pagi, semangat ya buat hari ini.. Tetap jaga senyumnya.. Semoga hari ini menyenangkan .. Aku sayang kamu.. I love you so much, saa..”
                Lagi-lagi kebahagiaan datang untuk mengawali harinya. Dengan segera ia membalas pesan cinta dari kekasihnya.
                “Selamat pagi juga sayang.. iya saa.. kamu juga yang semangat ya saa.. Jangan lupa bahagia..”.
                Setelah meletakkan ponselnya, ia berjalan ke arah jendela dan memejamkan matana sejenak. Tersenyum, dan berucap sesuatu.
                “Tuhan, terima kasih telah menitipkan kado indah itu untukku .. Tuhan, aku bahagia.. Tuhan, bantu kami untuk terus saling mencintai dengan segala kesederhaan yang kami punya. Dan yang Engkau berikan..”
                Angin berhembus, membawa segala ucapan dan kebahagiaannya terbang. Tinggi. Seiring dengan langkahnya pergi menyambut bahagia-bahagia, dan senyum-senyum yang lainnya pada hari ini, dan hari-hari selanjutnya.

SELESAI