Jangan Kau Hapus Bekas Langkahmu
Hujan sore ini menyisakan mendung. Udara dingin dan angin
yang berhembus masih terasa membelai kulitku. Goresan-goresan penaku yang
sedang melukiskan cinta disuatu senja yang mulai temaram itu, semakin indah.
Mataku tertuju pada seorang gadis
yang tengah berjalan sendiri di tengah cuaca mendung. Langkahnya begitu cepat.
Namun, perlahan melambat dan berhenti di halte bus depan rumahku.
Tiga puluh menit sudah aku
melihatnya duduk di sana, diam, termangu, tanpa melakukan apapun.
“Hai, sedang menunggu siapa? Oh,
iya, siapa namamu?”
Ia hanya diam dan tersenyum
memandangiku. Berkali-kali aku bertanya tentang namanya. Tetapi, ia tak pernah
menjawabnya. Ah, aku bosan, sedikit geram, dan akhirnya aku pergi
meninggalkannya sendiri di halte bus bersama mendung yang masih menyelimuti
langit.
Di hari-hari berikutnya, aku kembali
melihatnya di halte bus ini. Yang membuatku selalu bertanya-tanya tentang
‘siapa dia sebenarnya’. Hal yang sama yang aku lakukan seperti hari-hari kemarin.
Ya, bertanya tentang ‘siapa dirinya’ dan selalu ku tutup pertanyaan-pertanyaanku
yang selalu mendapat jawaban diam dan senyum simpul itu dengan ‘mengapa kamu
tidak pernah menjawab pertanyaanku?’.
Dan lagi-lagi tetap diam.
Hingga pada suatu waku, saat aku
akan berangkat kuliah, aku menemukan selembar kertas di dapan pintu rumahku.
“A-N-I-T-A”
Hatiku bertanya, ‘siapa itu Anita?
Dan siapa yang mengirimkan ini?’. Tenyata pada halaman sebaliknya, terdapat
tulisan singkat yang membuatku cukup paham dengan semua ini.
“Hai, apakah kamu adalah seorang
laki-laki yang sering menyapa dan bertanya tentang namaku di halte bus setiap
sore menjelang? Namaku, Anita. Terima kasih, telah menyapaku”.
Aku menyebut namanya berkali-kali,
hingga aku benar-benar mengingatnya. Aku membawa kertas itu untuk turut serta
pergi bersamakau ke universitas pagi ini. Aku masih mengingatnya, hingga nama
itu telah memecahkan konsentrasiku. Sepulang kuliah, aku menyempatkan diri
untuk datang ke rumah Indra, sahabatku untuk menceritakan tentang ini semua.
“Ndra, aku bingung”, ucapku
mengawali pembicaraannya.
“kenapa kamu, Ris?”
“ada yang ngirim kertas ini. Nggak tahu semalam, nggak tahu tadi pagi. Yang jelas ini dari orang yag biasa aku sapa
di halte setiap sore. Tapi, dia ini orangnya kalau aku sapa, dia nggak pernah jawab. Cuma senyum-senyum
aja”.
“wah, gawat tuh, Ris”
“gawat kenapa, Ndra?”
“ya pokoknya gawat. Dia biasanya di
halte jam berapa?”
“jam 15 kalau nggak jam 16 lah.
Emangnya kenapa?”
“bentar lagi. Ya udah, ayo ke halte,
sekarang. Ayo, cepetan, nggak pakai
lama”.
Aku menstater motorku dan pergi
bersama Indra ke halte. Dan tepat sekali, saat aku hampir sampai di halte, dari
kejauhan ku lihat gadis itu juga tengah berjalan menuju halte. Aku memperlambat
laju motorku. Dan menunggunya agar dia lebih dulu sampai di halte. Aku dan
Indra menghampirinya, saat ia sudah duduk di kursi halte.
“Hai, kamu Anita?”, sapaku.
Ia mengangguk daan tersenyum padaku.
Baiklah. Aku mengulurkan tangan saat ia menyodoriku selembar kertas.
“Aku ingin menjadi temanmu. Namamu
siapa?”
Aku menjawabnya tanpa tulisan.
“aku, Harris. Dan ini temanku,
Indra”.
Ia tersenyum. Kami berjabat tangan.
Mulai hari itu, aku berteman dengannya. Bahkan bersahabat dengan Anita.
Hari demi hari, ku lewatkan
bersamanya. Hingga pada suatu ketika aku mengajaknya ke pesta kulang tahun temanku.
Malam itu, aku mengajaknya ke pesta ulang tahun temanku
untuk yang pertama kalinya. Penampilannya yang sederhana dengan cardigan warna
ungu, polesan bedak di wajah, lipstick merah muda di bibirnya, dan high hill
putih kesayangannya, membuatnya terlihat semakin cantik.
Saat aku berjalan bersamanya di
ulang tahun temanku itu, aku bertemu dengan Indra dan kekasihnya, Kayla. Mereka
menyapa kami, dan memuji kami berdua.
“Anita, kamu cantik sekali malam ini. Harris juga keren.
Eh, iya, acaranya udah mau dimulai. Masuk yuk!”
Aku menjawabnya, “yuk!”
Anita hanya diam malam itu. Tak satupun kata terucap dari
mulutnya. Sebenarnya, bukan hanya malam itu saja. Dihari-hari sebelumnya pun
seperti itu. Ia tak pernah berbicara kepadaku, teman-temanku, dan yang lainnya.
Ia selalu diam. Bahkan saat aku atau teman-temanku menyapanya, ia selalu diam
dan hanya tersenyum. Dan malam itu, tampak beberapa teman-temanku yang kasak
kusuk membicarakan kami, terutama Anita. Itulah yang membuatku sangat malu dan
ingin sekali mengetahui sebab ‘mengapa Anita tak pernah berbicara kepada
siapapun’.
Saat pulang, karena rasa maluku, aku
begitu siap untuk marah pada Anita.
“Nit, aku sangat malu mengajakmu ke
pesta ulang tahun temanku malam ini”.
Ia diam dan menatapku sedih dan mata
yang berkaca-kaca. Lalu meraih blocknote kecil dan menuliskan sesuatu yang bisa
ku baca dari jarak sedikit jauh.
“kenapa”, tulisnya.
“Nit, kamu ini kenapa? Bisu? Nggak
bisa ngomong? Sopan dikit dong, Nit. Diajak ngomong nggak pernah jawab. Cuma
senyum. Apa-apa ditulis. Ya, kalau yang ngajak ngomong kamu itu bisa baca. Ah,
pokoknya aku malu Nit, punya temen kayak kamu”, hardikku padanya.
Ia kembali menulis, “maaf, Ris”.
“sudahlah, Nit. Aku tidak mau
berteman denganmu lagi. Aku malu, Nit. Pergi sana, pulang sendiri! Kembalilah
jadi temanku saat kamu sudah mau berbicara padaku dan pada orang lain. Dasar,
gadis tidak tahu sopan santun!”, hardikku lagi.
Ia menganggukkan kepala dan pergi
dengan air mata yang mengalir dari kudua matanya. Mobilku melaju cepat di jalan
tengah kota ini tanpa menghiraukan Anita lagi.
Hari yang ku benci itu berlalu.
Hingga keesokan harinya, aku bertemu dengan Indra di taman depan universitas.
Indra menyapaku.
“Ris, ada yang mau aku bicarain sama
kamu”.
Aku berjalan mendekati Indra.
“apa, Ndra?”, jawabku.
“kamu ada apa sama Anita?”, tanyanya
dengan mata yang menatapku tajam.
Baiklah. Indra sepertinya sudah tahu
kalau waktu acara ulang tahun semalam, aku memarahi Anita dan membiarkannya
pulang sendirian.
“Jadi begini, Ndra. Aku bingung
kenapa Anita nggak pernah bicara dengan siapapun, menjawab pertanyaan orang
lain. Ia selalu diam dan hanya tersenyum. Aku malu, Ndra. Jujur aku jatuh cinta
sama dia. Tapi, aku kurang suka sama sikapnya itu, Ndra. Kayak orang yang nggak
pernah diajarin sopan santun. Ya udah, jadinya aku marah sama dia, aku bilang
ke dia kalau aku malu punya teman kayak dia, dan aku nyuruh dia pergi. Dan aku
bilang, aku mau jadi temannya lagi kalau dia sudah mau bicara denganku dan
orang lain”.
Mata Indra menatapku semakin tajam.
Sepertinya Indra marah mendengar penjelasanku tadi. Ia mendekatiku dan menarik
kerah bagian depan bajuku.
“heh, Ris! Kamu ini pura-pura tidak
tahu atau benar-benar tidak tahu? Anita adalah seorang gadis bisu yang hidup
sendiri di kota ini. Orang tuanya telah bercerai dan tinggal di luar negeri.
Semalam, Anita menemuiku dan Kayla. Ia menceritakan semuanya pada kami. Dan
kamu tahu tidak, ucapanmu sangat menyakiti dia! Kamu boleh berbicara tentang
sopan santun kepada siapapun. Tetapi, tidak kepada Anita! Dasar childish!”,
hardik Indra padaku.
Indra melemparkan segulung kertas
dengan pita biru tua sebagai penghiasnya sebelum ia pergi meninggalkanku. Aku
membuka gulungan kertas itu. Dan aku hafal benar, ini tulisan tangan Anita.
“Ris,
maaf telah membuatmu malu di pesta malam itu. Aku tahu sopan santun, tidak
seperti yang kamu katakan. Aku memang tak pernah berbicara, bahkan tidak bisa
berbicara. Aku bisu, Ris. Maaf, jika kamu malu memiliki teman sepertiku. Aku
akan pergi, Ris. Sama seperti apa yang kamu katakan bersama marahmu malam itu.
Aku akan menyusul mamaku ke Malaysia, Ris. Selamat tinggal. Terima kasih untuk
semua kebahagiaan persahabatan kita”.
Aku mengejar Indra. Namun, baru beberapa langkah saja,
aku sudah tidak melihatnya. Semua ini salahku. Hanya karena gengsiku yang
tinggi, aku harus kehilangan semuanya. Mulai dari Indra, sahabat-sahabatku, dan
Anita.
Kawan, maafkan aku. Anita, maafkan
aku yang tidak sesegera mungkin menyadarinya.